Visi Misi

VISI & MISI
Sejalan dengan Visi dan Misi Kejaksaan R.I, bahwa Visi dan Misi Cabang Kejaksaan Negeri Payakumbuh di Suliki adalah :
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam mewujudkan supremasi hukum secara profesional, proporsional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran, serta nilai – nilai kepautan.
Misi Kejaksaan R.I :
  1. Mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas penanganan perkara seluruh tindak pidana, penanganan perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, serta pengoptimalan kegiatan Intelijen Kejaksaan, secara profesional, proposional dan bermartabat melalui penerapan Standard Operating Procedure (SOP) yang tepat, cermat, terarah, efektif, dan efisien.
  2. Mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya, terutama terkait dengan upaya penegakan hukum.
  3. Mengoptimalkan tugas pelayanan publik di bidang hukum dengan penuh tanggung jawab, taat azas, efektif dan efisien, serta penghargaan terhadap hak-hak publik;
  4. Melaksanakan pembenahan dan penataan kembali struktur organisasi Kejaksaan, pembenahan sistem informasi manajemen terutama pengimplementasian program quickwins agar dapat segera diakses oleh masyarakat, penyusunan cetak biru (blue print) pembangunan sumber daya manusia Kejaksaan jangka menengah dan jangka panjangtahun 2025, menerbitkan dan menata kembali manajemen administrasi keuangan, peningkatan sarana dan prasarana, serta peningkatan kesejahteraan pegawai melalui tunjangan kinerja atau remunerasi, agar kinerja Kejaksaan dapat berjalan lebih efektif, efisien, transparan, akuntabel dan optimal.
  5. Membentuk aparat Kejaksaan yang handal, tangguh, profesional, bermoral dan beretika guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan wewenang, terutama dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan serta tugas-tugas lainnya yang terkait.
(Sumber: Peraturan Jaksa Agung No: 011/A/JA/01/2010 tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2010-2014 tanggal 28 Januari 2010)


Bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke- 4 disebutkan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain yang diatur dengan undang-undang.
Dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, ditegaskan antara lain bahwa kedudukan dan peran Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, baik dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lainnya. Makna dari “merdeka” di sini, dapat diartikan pula bahwa pelaksanaan kekuasaan dan kewenangan secara independen tetap berada dalam koridor hukum, tidak boleh bertentangan dengan hukum atau melanggar rambu-rambu hukum, semata-mata dilakukan demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani, dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
 Karakteristik kewenangan ini sejalan dengan penggarisan PBB pada tahun 1990 yang menyetujui Guidelines on The Role of Prosecutor dan Ketetapan International Association of Prosecutors, yang menjamin bahwa profesi ini tidak boleh diintimidasi, diganggu atau diintervensi di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Tetapi, mengingat Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan serta bertanggungjawab kepada Presiden, maka secara struktural berada di bawah eksekutif, maka di dalam melaksanakan fungsi yudikatifnya yang bersifat fungsional tetap harus sejalan dengan politik hukum yang menjadi kebijakan pemerintah.
Pengaturan yang demikian, mengandung makna dari sudut kedudukan bahwa Kejaksaan adalah bagian dari eksekutif, sementara dari sisi kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan menjalankan kekuasaan yudikatif yang bermuara ke Mahkamah Agung sehingga kondisi obyektif ini telah memunculkan dual obligation dalam penegakan hukum, di satu sisi harus berpijak kepada hukum tetapi di dalam pelaksanaannya harus memperhatikan juga kebijakan politik hukum pemerintah. (Marwan Effendy, 2005 : 158)
Tugas dan wewenang Kejaksaan RI, secara normatif ditegaskan dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a.      melakukan penuntutan;
b.      melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.       melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.      melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.      melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
  1. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  2. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  3. pengamanan peredaran barang cetakan;
  4. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  5. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  6. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Jika melihat ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d sebagaimana diuraikan di atas, maka Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004 menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan RI di atas, Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 yaitu :
  1. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
  2. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
  3. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
  4. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
  5. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
  6. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam mengimplementasikan tugas dan kewenangan tersebut, maka telah disusun program dan perencanaan stratejik kinerja Kejaksaan tahun 2004 – 2009, dimana tertuang visi Kejaksaan yaitu “mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila”. Untuk mewujudkan visi tersebut, kemudian ditetapkan misi Kejaksaan yaitu :
  1. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum;
  2. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM;
  3. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.
Arah Kebijakan dan Strategi Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum
Penegakan hukum berfungsi sebagai pelayanan hukum kepada masyarakat pencari keadilan. Menurut Jeremy Bentham, penegakan hukum adalah sentral bagi eksistensi hak (A.I. Belden, 1970 : 30). Penegakan hukum dapat pula dimaknai sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak erjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran maka segera mungkin untuk memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali (Abdul Kadir Muhammad, 2001 : 115).
Hukum akan dapat dirasakan peranan dan manfaatnya apabila ditegakkan secara konsekuen dan konsisten dengan mentaati norma-norma yang telah ditetapkan, seperti antara lain : norma kemanusiaan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, norma keadilan, norma kepatutan (equity) dengan tidak bersikap diskriminatif, dan Kejujuran (O. Notohamidjojo, 1975). Upaya penegakan hukum harus dapat menjadi perekat bangsa, karena jika penegakan hukum yang dilaksanakan tidak dapat mewujudkan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu tercapainya keadilan dan ketertiban (Mochtar Kusumaatmadja, 2006 : 3), maka akan menimbulkan ketidakadilan, ketidak pastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum serta dapat melahirkan krisis di bidang hukum, yang akhirnya berdampak pada kehidupan masyarakat, timbul perpecahan atau disintegrasi bangsa.
Di dalam upaya penegakan hukum tersebut, tentunya tidak terlepas dari adanya kendala yang menjadi problematika dalam penegakan hukum, yang biasanya menyangkut masalah sistem hukumnya yang meliputi substansi hukum berupa materi hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum berupa kelembagaan atau badan penggeraknya dan kultur (budaya) hukum berupa perilaku masyarakat maupun aparatur penegak hukum (L.M. Friedman, 1975 : 11). Di samping itu ada pula problematika lain yaitu faktor-faktor di luar sistem hukum.
Upaya memperkecil problematika penegakan hukum, salah satunya adalah dengan cara membenahi sistem hukum. Upaya itu hendaknya sejalan dengan politik hukum pemerintah dan diarahkan kepada kebijakan memperbaiki sub sistem dari susunan sistem hukum itu sendiri, baik substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, maupun kultur (budaya) hukum, melalui upaya sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 – 2005, yaitu :

  1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan; dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional.
  2. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan profesionalisme aparatur penegak hukum;
  3. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari aparatur pemerintah dan penegak hukum dalam mematuhi serta menaati hukum.
Bagi institusi Kejaksaan, terkait dengan substansi hukum, telah dilakukan pembaruan dengan keluarnya Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Ada beberapa perubahan mendasar, yang mengukuhkan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang secara merdeka. Artinya, di dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (vide pasal 2 ayat 2 dan penjelasannya).
Kemudian yang menyangkut, pembenahan struktur hukum institusi Kejaksaan RI, melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan profesionalisme, maka telah disusun program Pembaruan Kejaksaan RI tahun 2005-2006, antara lain menyangkut :

  1. Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan serta Sumber Daya Manusia. Pembaruan ini sangat penting dilakukan agar dapat dibangun sebuah struktur yang lebih ramping, efisien dan sesuai dengan prinsip Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) yang modern. Pembaruan ini juga merupakan pemenuhan mandat dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan Guideline in The Role of Prosecutors and International Association of Prosecutors, yang menekankan terwujudnya “Jaksa dan Kejaksaan yang profesional dan berintegritas”. Ortala yang berlaku saat ini, masih mengacu kepada Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, yang kurang mengakomodir jabatan fungsional yang semula dimaksudkan untuk mewadahi jaksa-jaksa profesional.
  2. Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Bidang Intelijen. Perumusan format, fungsi dan peran intelijen Kejaksaan dimaksudkan agar dapat berfungsi sebagai “Indera Adhyaksa” sehingga potensi kejahatan, terutama kejahatan kontemporer seperti korupsi, HAM, terorisme, money laundering, illegal logging dan sebagainya, dapat senantiasa diantisipasi dan diberantas.
  3. Pembaruan Manajemen Umum. Pembaruan dalam bidang ini bersifat menyeluruh, mulai dari sistem rekruitmen, sistem pendidikan dan pelatihan serta sistem pembinaan karier. Upaya pembaruan yang meliputi urusan sarana dan prasarana, anggaran/keuangan Kejaksaan secara keseluruhan, anggaran penanganan tertentu dan tunjangan jabatan fungsional jaksa, ditujukan untuk menjamin ketersediaan biaya operasional Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum.
  4. Pembaruan Manajemen Perkara. Pembaruan ini meliputi Pengembangan Sistem Informasi Penanganan Perkara untuk menjamin transparansi dan akses publik, dalam rangka mendorong penanganan yang lebih profesional dan akuntabel.
  5. Pembaruan Sistem Pengawasan Kejaksaan. Dalam upaya meningkat budaya hukum, di dalam program ini akan dikembangkan Code of Conduct Jaksa yang merupakan hukum materiil, sebagai acuan untuk menentukan ada/tidaknya pelanggaran serta Sistem Pengawasan perilaku dan Pendisiplinan Jaksa yang berfungsi sebagai hukum acara untuk memeriksa pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran serta memberi putusan atas pelanggaran tersebut. Dalam program ini juga akan dikembangkan mekanisme koordinasi dan kerjasama antara unit pengawasan internal, yaitu jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan dengan unit pengawasan eksternal, yaitu Komisi Kejaksaan, sehingga diharapkan ke depan ada kesatuan pandang tentang tata laku, tata pikir dan tata kerja, yang secara berjenjang menjadi teladan bagi seluruh jajaran Kejaksaan.
Beberapa waktu yang lalu, Kejaksaan telah mengeluarkan beberapa peraturan internal berupa Peraturan Jaksa Agung (Perja), dalam rangka pengimplementasian program pembaruan Kejaksaan tersebut, Terkait dengan budaya hukum, upaya yang dilakukan antara lain :
  1. Melalui pendidikan formal berupa jenjang pendidikan resmi, seperti SMU dan Perguruan Tinggi.
  2. Melalui pendidikan non formal, berupa pelatihan, penataran dan sarasehan, baik kepada aparatur pemerintah maupunmasyarakat.
  3. Penerangan dan penyuluhan hukum kepada aparatur pemerintah dan masyarakat.
  4. Menyempurnakan dan mengimplementasikan pedoman pelayanan pengaduan masyarakat termasuk atas perilaku/sikap personil.
  5. Mengimplementasikan standar profesi/kode etik.
Selain itu, upaya penghormatan, pemenuhan dan penegakan hukum diarahkan pada kebijakan untuk meningkatkan pemahaman dan menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsisten terhadap perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan langkah-langkah :
  1. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif dan memihak pada rakyat kecil;
  2. Menggunakan nilai-nilai budaya daerah sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan terciptanya kesadaran hukum masyarakat;
  3. Meningkatkan kerjasama yang harmonis antara kelompok atau golongan dalam masyarakat, agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing;
  4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
Langkah-langkah tersebut dijabarkan ke dalam program pembangunan penegakan hukum dengan tujuan untuk melakukan tindakan preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka fungsi penegakan hukum oleh Kejaksaan meliputi fungsi represif (yustisial) dan preventif (non yustisial) serta Pengacara Negara dalam keperdataan dan tata usaha Negara. Fungsi represif mencakup kepidanaan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim, dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari Penyidik Polri dan PPNS. Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Pada saat HIR diberlakukan kembali berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, maka penyidikan dianggap sebagai bagian dari penuntutan, sehingga kewenangan tersebut menjadikan penuntut umum (Jaksa) sebagai koordinator penyidikan, bahkan Jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan. (Topo Santoso, 2000 : 11)
Tetapi setelah diundangkan UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal dengan istilah KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, maka Polisi menjadi penyidik utama dan juga koordinator penyidik tindak pidana yang dilaksanakan oleh instansi lain (PPNS). Sedangkan Kejaksaan hanya diberi kewenangan oleh KUHAP berdasarkan ketentuan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu antara lain penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM, yang kemudian dikukuhkan kewenangan penyidikan tersebut dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jo. UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jo. UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Peran Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi,
Khusus peran Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi, selama ini telah dilakukan berbagai upaya dan strategi dalam rangka pengoptimalan kinerja dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi, baik berupa penindakan maupun pencegahan sebagaimana digariskan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memerintahkan Jaksa Agung agar :

  1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
  2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa (Penuntut Umum) dalam rangka penegakan hukum.
  3. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara RI, selain dengan BPKP, PPATK dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Untuk menyamakan persepsi, tujuan dan rencana tindak (action plan) dalam memberantas korupsi, maka Inpres tersebut ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Nasional-Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) tahun 2004-2009, dan Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum merupakan bagian dari bidang penindakan.
 
Harapan kebijakan strategis,
Kebijakan dan strategi ini, diharapkan akan memperkecil munculnya kejahatan, khususnya tindak pidana korupsi, karena orang akan berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan, mengacu kepada berbagai kasus yang digulirkan ke pengadilan serta kebijakan dan strategi ini sejalan dengan tujuan dari pidana, yang memberikan efek jera (deterrent effect) dan daya tangkal (prevency effect), sehingga tujuan mewujudkan supremasi hukum dapat tercapai sesuai dengan harapan masyarakat, bangsa dan negara.

Penutup
Keberhasilan penegakan hukum sangat tergantung kesungguhan seluruh komponen bangsa, utamanya political will pemerintah yang didukung oleh pihak legislatif dan persamaan persepsi dengan pihak yudikatif serta terjalinnya kerjasama yang baik diantara aparat penegak hukum itu sendiri. Selain itu, perlu pula dipupuk sikap keteladanan dari para aparat penegak hukum sehingga dapat menjadi panutan masyarakat untuk patuh dan taat serta menghormati hukum.
Institusi Kejaksaan sebagai salah satu bagian dari aparat penegak hukum yang yang juga merupakan bagian dari sub sistem peradilan pidana terpadu, dalam tugasnya menegakkan hukum selalu berupaya mengambil langkah-langkah yang efektif dan strategis serta profesional dengan memperhatikan seluruh kebijakan yang telah ditetapkan dan berkoordinasi dengan instansi lain guna menindak para pelaku tindak pidana dan mengembalikan keuangan negara sehingga akhirnya supremasi hukum dapat ditegakkan demi kewibawaan hukum bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara